Kamis, 30 April 2009

cerpen-EMAK MEMUKULKU LAGI

Emak memukulku lagi. Aku katahuan berkelahi di sekolah hari ini. Bukan, bukan karena itu emak memukulku. Aku tahu. Ia hanya capek dan kesal. Sudah biasa. Kali ini juga begitu. Setelah memukuliku, sambil menggendong adikku yang berumur dua 2 tahun, emak memandikanku di pancuran belakang rumah. Mulutnya masih ngomel marah marah. Aku sesenggukan. Tapi tak juga ia berhenti marah-marah.
***

3 bulan lalu, aku pindah rumah. Aku sekarang tinggal di rumah kecil. Emak punya sepetak kebun kopi. Di tenggah-tengah kebun itulah aku tinggal. Rumah? Bukan. Gubug tepatnya. Tapi tak apalah. aku mau menyebutnya rumah saja. Aku tidak mau kau terlalu kasihan padaku. Rumah ini dibuat setelah emak diceraikan bapak. Ku dengar bapak ketahuan tidur dengan seorang tetanggaku. Ia janda cantik. Lalu bapakku akan menikahi janda itu. Ya walaupun janda itu lebih tua, tapi ia memang lebih cantik.

Rumahnya tak jauh dari rumahku sekarang. Mau bagaimana lagi, kebun ini satu-satunya yang emak punya. Ini warisan dari kakekku. Bapakku yang miskin tak bisa beri apapun. Kalaupun punya tanah lain, emak tak akan sudi tinggal disini. jangankan emak, akupun ogah dekat dengan perempuan gatal itu.

Tapi aku heran kenapa janda itu mau tidur dengan bapakku yang miskin itu? Ah, aku tak peduli. Gara-gara pempuan itu, tiap malam aku harus digigit nyamuk-nyamuk, tidur di anben keras tanpa kasur. Aku juga selalu melihat emak meninabobokan kami dengan airmata.
***

Aku pura-pura tidur sebelum emak mematikan lampu. Masih ku dengar isaknya. Aku heran, kenapa emak masih saja menangisi laki-laki itu? Mungkin karena ia perempuan. Cuma bisa menangis. Bisa apa dia kecuali pasrah? Entah terbuat dari apa otak laki-laki yang katanya bapakku itu? Aku benar-benar geram. Laki-laki itu sangat pintar, ia selalu punya pembenaran atas apa yang dilakukannya.
“ Darimana Pak, malam begini baru pulang?” tanya Emak.
“ Ya, nyari duit to buat anakmu. Kalau aku ga ngojek sampai malam begini anakmu itu mau kamu kasih makan apa?” jawab Bapakku.
“ Maaf ya Pak, tadi Emak ke tempat biasanya bapak mangkal ojek. Bapak lagi…lagi…sama Tatik.”
“oooo….njuk ngopo? Kamu tidak suka? Kamu mau apa? Cerai? “ tanya Bapak kasar.
“Bukan gitu Pak?”
“ Jujur wae, aku sudah tidak cinta lagi sama kamu. Apa rumah tangga kita bisa dipertahankan tanpa cinta? Nggak to? Ku pikir aku berhak untuk hidup bahagia dengan orang yang kucintai? Iya to? Bukanya itu juga yang kamu mau?”

Sejak itu pertengkaran mereka selalu ada pemukulan dan kata cerai. Emak cuma bisa nangis. Cuma itu yang bisa dia lakukan. Ia hanya mengadukankan rasa sakit dan penderitaannya paca pakaian kotor, pada piring-piring dan gelas kotor, pada cabai, bawang merah dan ulegan.
“Mungkin Bapakmu benar. Ia behak untuk bahagia, hidup bersama dengan orang yang dia cintai” kata Emak dalam tidurku. Aku tidak tidur. Hanya pura-pura tidur. Tapi ia masih saja manangis. Begitu setiap hari.
***

Di pancuran dekat rumah Emak memukulku. Begitu juga dengan hari ini. Kain lap yang biasa untuk megelap piring tak sengaja sobek. Aku berebut kain lap ini dengan adikku dan sobek. Tapi ini hanya alasan Emak untuk memukulku saja. Kemarin juga karena aku mamanjat pohon, sebelumnya juga karena aku seragamku terkena sambal, karena adekku nagis, karena tertawa ngakak dengan temanku. Hanya karena hal-hal sepele itu, pantat dan pahaku selalu jadi sasaran empuk tangannya untuk memukulku.

Aku tak pernah protes jika Emak memukulku. Tak pernah sekalipun mengeluh. Aku berusaha menahan airmataku. Aku tak mau menangis, tapi airmataku tetap tak tertahan. Airmata selalu mengalir dalam kepasrahanku. Aku tak merasakan pukulan yang Emak layangkan di paha dan pantatku. Aku hanya memeperhatikan wajah ibuku yang marah. Serta matanya yang merah dan meleleh.

Sambil memandikanku, Emak masih memukulku. Aku kasihan pada tangannya. Apa tidak capek? ia buka pakaianku sambil ngomel. Kreatif sekali Emak untuk mengomel, selalu ada saja alasannya untuk marah. Tiba-tiba ia melihat badanku sudad memar-memar. Ia kaget sekali. Ia berhenti memukuliku. Ia bertanya-tanya.
“Le, ini kenapa?”
“Emak, memukulmu hingga seperti ini Le?”

Emak memelukku. Tentu saja sambil menangis. Ia hati hati sekali memandikanku. Ia menyabuni badanku. Membersihkan tangan, muka, dada dan kakiku. Membilas badanku dengan hati-hati. Lalu mengelap badanku dengan handuk. Sangat hati-hati. Ia takut akan semakin membuat badanku yang memar tambah sakit. Aku tak berkata apapun. Aku hanya tersenyum pada Emak.
***

Malam hari tiba-tiba badanku panas, kepalaku terasa berat sekali. Aku menggigil. Emak sudah tertidur di sampingku. Aku memanggilnya, tapi tak juga Emak menjawabku.

“ Mak, kepalaku berat. Mak pusing. Mak..Mak..Mak. Aku tidak kuat lagi Mak.”

Kapalaku semakn barat. Pandanganku sudah buyar. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi tiba-tiba sudah ku lihat Emak di depanku. Ia begitu cantik. Tersenyum begitu ramah. Ia mengulikan tangannya. Aku menyambutnya.

“Adek tidak ikut Mak?” tanyaku. Emak menggeleng sambil tersenyum.

Sulis
24 april 09
Masih memangku harap pada kefanaan dan absuditas. Gila…

LELAKI TUA

laki-laki tua itu itu terus saja nembang. ia hidup seorang diri di rumahnya yang hanya berukuran 4x4 meter itu.

ia duduk di teras rumahnya sambil nembang menadang hujan. ia tak punya anak, istri yang sangat dicintainya pergi dan menikah lagi setelah rumah mereka diratakan dengan buldoser. ia pulang kampung dan mendirikan sebuah rumah gedek warisan orang tuanya yang sudah mati, yang kini ia duduki dan nembang.

ia tak mau menikah lagi.ia hanya nembang saja.ia masih hidup untuk nembang.


-----------------
sulis

1 Mei 09
begitu dalam penderitaannya, hingga ia tak berani lagi untuk merasakan kebahagiaan. "aku dikerjain oleh lakon hidupku" katanya. apa yang bisa ia lakukan selain menyelamatkan batin dan jiwanya??
NEMBANG..!!!

MENUNGGU YANG DITUNGGU

"aku melihat dari tadi kau terus disini?"tanya seorang perempuan, kelihatannya mereka saling kenal.
"iya, aku menunggu seseorang." jawab perempuan itu.
"o,janjian jam berapa?" tanyanya lagi. heran dari pagi lewat, perempuan yang menunggu itu masih ditempat hingga ia pulang.
perempuan yang menunggu itu tak menjawab. hanya tersenyum dan menggeleng.

semakin bingung, perempuan penanya itu bertanya lagi. "kau menunggu siapa?"
"Mas Samin" jawab perempuan penunggu itu.
"tapi,aku baru saja melihatnya sedang asyik ngobrol sambil minum kopi dengan temannya di warung dekat rumah Mas Samin" kata perempuan itu.
lagi-lagi si penunggu hanya tersenyum dan menjawab, "iya. saya tahu."


------------------------------------------
sulist
1 Mei 09

ada yang menunggu dan ditunggu. tapi bagaimana jika yang ditunggu tidak merasa ditunggu??

ANAK KECIL MATI

seorang anak kecil mati tertabrak truk
darahnya menyiprat
pada seorang laki-laki tua yang tak punYa anak

-------------------------------
sulis
29 april 09
aku lupa persis kata-katanya
tapi begitulah aku menagkap puisinya Seno Gumira yang lalu ku tulis.

3 KEINGINAN

di sebuah kamar, si tubuh, si otak dan si hati saling mengutarakan isi keinginannya.si hati ingin di kamar saja,si otak ingin pergi ke kampus. sementara si tubuh manut saja.

si otak dan si hati akhirnya bertengkar hebat. si tubuh pusing. biasanya hati mengalah, otak kadangpun mengalah. tapi kali ini tidak. akhirnya si tubuh pergi tanpa hati dan otak.



sulis

1 mei 09
tubuh itu kini terus berkembang. jadi banyak dan masih terus hidup. dengan siapa dia hidup??

Senin, 06 April 2009

Bertahanlah!!!!

aku duduk sendiri ketika semua orang beraktifitas. duduk dilantai bersandar pada tembok ternyata membuatku sedikit rileks. aku hanya melihat mereka. ini tidak biasanya aku lakukan.aku lagi malas berakifitas. aku duduk di teras kampus sambil memebaca buku yang kamarin aku pinjam dari temanku. buku yang cukup menarik. tapi aku tidak akan memikirkan isi buku itu.karena aku tidak begitu konsen membacanya saat ini.pikiranku melayang pada hal lain.bukan memikirkan sesuatu.tapi mencari sesuatu untuk dipikirkan. ada yang ganjal, yang membuat pikiranku ga anteng sekarang.sesekali aku melihat sekelilingku, bukan untuk mengamati apa yang mereka lakukan. hanya kebiasaan banyak orang saja ketika malas beraktifitas, sibuk dengan pikiranya dan mengkambinghitamkan buku sebagai tameng kekalutan otaknya.

aku hanya memikirkan untuk apa aku duduk disini. harus ada yang kudapat dari apapun yang kulakukan.tak terkecuali sekarang.aku tidak ingin membuang waktuku.paling tidak aku bisa berfikir dan menemukan gagasan baru untuk merencanakan hidupku. tapi ternyata aku hanya duduk, berusaha keras untuk mendapat sesuatu itu. dengan sedikit kepasrahan satu satunyayang ku dapat adalah "sanggupkah aku untuk terus hidup".yang nantinya harus aku pertanggungjawabkan. itulah yang ku yakini. apakah minta ampun dapat dapat dimaafkan setelah semua hal yang bertentangan dengan nuraniku ku lakukan?berbuat lagi minta ampun lagi.berbaut lagi minta ampun lagi.aku tidak sanggup berbuat apapun. bahkan pada diriku sendiri.
mengapa begitu sulit, berat dan "gelap" jalan_Mu?? atau aku yang begitu takut.
sering kali "sendiri" menjadi momok yang mengerikan..AKU SENDIRIAN dengan puluhan orang disekitarku.kenapa aku merasa Tuhan saja tidak cukup?? atau karena aku aku tidak terbuka kepada-MU??Atau karena Kau tak bisa ngomong??atau aku yang terlalu budeg untukmendengar-Mu?

mataku mulai berkaca-kaca, tapi kutahan. jelas, aku tahu tempat dimana aku berada sekarang.tapi tak dapat kutahan pikiranku untuk terus berfikir. aku harus pulang. aku tak tahan lagi.

ku ambil air wudhu.kebelulan sekarang waktu Ashar.waktu yang tepat untukku. aku tidak fokus pada sholatku. rasa yang tadinya membuncah didadaku, kini pecah bersama bitiran air yang meleleh dari mataku.ada sedikit sensasi nyinyir, nyeri di dadaku. tapi nikmat kurasa.semakin banyak airmataku semakin nikmat. aku sedang menikmati kesedihanku.

benar yang dikatakan Habiburahman El shirazhi dalam novel Ayat-ayat Cintanya, ambilah nyawa sisa umurku jika tidak membawa berkah.

aku teringat seorang temanku. sempat aku membaca sedikit tulisannya, dia ingin hidupseribu tahun lagi seandainya itu mungkin. aku tidak tahu alasan apa yang membuatnya begitu berani untuk hidup lebih lama.mungkin memang Tuhan menantang kita bukan untuk berani mati seperti pasukan Sudirman dulu tapi berani hidup.keberanian itulah yang belum kumiliki. karena aku tidak tahu bagaimana caranya.

ajari aku bagaimana harus menapakan kaki di bumi-MU ini Tuhan!!!!



5 juni '08
di sore yang gaduh..
aku ingin memelukmu.mungkin hanya itu yang bisa kulakukan sekarang...
ibu

Minggu, 05 April 2009

KULTUSKU...

Kesetiaan bukanlah pada "seseorang"
tapi pada nurani...
sebab, jika tidak, ia akan terjebak pada pengkultusan.


-----------------
sulist
4 april 2009
beruntunglah semua begitu tak teratur.
sebab kalau tidak, semua akan seperti kuburan...
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Temanku, Dengarlah?

_ anak-anak jalanan




Pagi bergegas ke gedung ini, menjadi ritualku setiap hari

Angkot-angkot itu saksinya.

Begitu semangat kami datang ke gedung ini, gedun impian kalian…

Ternyata penjara yang disulap begitu apik,

Tidak lagi aku merasanyaman disana..

Kami disini hanyalah pekerja rodi atas…

Ujian akhir….

yang trus menghakimi masa depan kami

dinding-dinding itu saksinya.


Mereka hanya diam melihat kami dicambuk soal soal

Soal soal yang semakin membuat hati kami memar..

Kadang mereka sendiri menjadi perpanjangan cambuk itu..

Kawan, tempat impianmu kini tak lagi bisa

Membawa kami pada tempat yang cerah.

Haruskah kami tetap disini?

Menunggu kehancuran…

Perlahan..


Menunggu kehancuran kami

Disini??

Sebuah Pengakuan

Sulist[i]


Karena ketika menulis kita pasti berfikir. Lalu mnulis lagi lalu berhenti lagi. Itulah ritual menulisku. Begitu juga ketika ditanya tentang motivasi menulis kemudian dituliskan. Aku berfikir, mencoba untuk merenungkan apa yang sebenarnya menggerakkanku untuk menulis. Aku sepakat dengan Seno Gumirah ketika dia bilang dalam sebuah cerpennya “….boleh saja dia brengsek dan sialan, namun ketika menulis —apalagi tentang dirinya sendiri— sungguhketerlaluan jika ia tidak juga menjadi ornag baik, orang yang jujur. Kerena kalau tidak, barangkali ia benar-benar tidak ada harganya.” Berangkat dari kesepakatan itulah, tulisan ini akan jadi pengakuanku.

Menulis menjadi aku jadikan sebagai komitmen harian. Walaupun kadang sulit juga untuk setia. Ini semata-mata kulakukan karena aku adalah calon seorang jurnalis. Apa jadinya kalau jurnalis tidak bisa menulis? Aku belum bisa menulis utuh. Banyak sekali tulisanku berhenti di tegah jalan. Bingung mau mengembangkannya bagaimana. Mungkin juga karena keika menulis aku terpasung oleh keinginan untuk menulis bangus, yang disanjung banyak orang, memukau, sistematis. Aku lupa bahwa menulis itu sebanarnya mengalir. Tapi tak juga kata-kata itu mengalir. Akhirnya terhenti. Alirannya mampet. Ya, itulah motivasi menulisku pada awalanya. tapi apakah nista kalau aku hanya punya motivasi cetek itu? Kalau iya, aku akan membela diri. Aku adalah orang yang sangat menghargai proses. Manusia selalu berproses, ia takkan pernah lepas dari proses. Seiring dengan bertambahnya kedewasaan, pengalaman, ilmu yang dia dapat ia akan terus berproses. Walaupun proses itu punya dua kemungkinnan akibat. Makin baik atau malah makin buruk. Yah bisa saja makin buruk, kasihan, pasti ia orang yang tidak beruntung.

Pernah sekali aku membaca buku Faudil Azhim, aku lupa judulnya. Dia menuliskan seperti ini, penulis besar menuangkan kata kerena membaca, sedangkan penulis mabuk: membaca kerena mau menulis.” Aku adalah orang mabuk. Aku bertanya

lagi, apakah nista kalau membaca kerena mau menulis? Kalau iya, aku mau melakukaan pembelaan lagi. Membaca itu tidak hanya buku, peristiwa juga bisa kita baca. Ya kita baca dengan pikiran kita. Buku dan peristiwa itu ternyata membuat pikiran kita diprovokasi tidak karuan. Menjadi gaduh (istilah temanku). Kegaduhan itu kemudian mendesak untuk dilahirkan. Entah sebatas didiskusikan pada teman, atau dalam bentuk tulisan. Jadi menulis itu memang karena membaca, jadi bacalah dulu sebelum menulis. Menurutku itu lebih tepat. Bukankah semakin banyak kita membaca, semakin pintar kita membaca, maka semakin pintar juga kita menulis?

Untuk mengawali tulisan saja sudah susah. Ini menjadi kendala banyak penulis. Di satu kesempatan aku baca lagi buku Faudil Adzim yang juga banyak diucapkan oleh pemateri dalam seminar-seminar penulisan. Sering sekali ku dengar “Tulis sekarang juga.” Iya tapi apa yang mau ditulis itu yang bingung. seing sekali kita terkungkung dalam memulai tulisan. Aku sadar masalahnyaku satu: aku ingin menulis bagus, terlihat intelek, berkarakter. Akhinya kutulis apa saja. Apapun yang terlintas tanpa peduli bagus tidaknya, intelek tidaknya, berkarakter atau tidaknya. Semua akan ku perbaiki nanti setelah mau memperbaikinya. Yang penting judulnya bagus. Judge the book by its cover, judge the article by its title.

Setelah awalan selesai, mengalir kedalam beberapa paragraf, mampet. Mau ku bawa kemana lagi tulisan ini? Setelah itu ternyata tulisanku selesai. Banyak tulisaku terhenti samapi disitu. Dan sekarang masih seperti itu. Ibarat pakaian, tulisan itu pakai baju tapi belum pakai celana. Jadi masih saru kalau keluar dari “ruangan komputerku”.




[i]Seorang mahasiswa yang tahu hidup itu berproses, tapi lupa ada percepatan proses, setelah ingat ia tidak tahu cara percepatannya. Seperti istilah temanku, ia terlalu lelet seperti bekicot,.

ISU KENTUT


"ih...bau kentut" tiba-tiba satu orang teriak diantara beberapa orang temannya.
ia orang yang cukup disegani, pendapatnya sangat diperhitungkan, ia hampir menjadi panutan.
dengan reflek smua teman-temannya sontak menutup hidung.
mulai saling menuduh dengan lirikan mata.lama-lama dengan kata-kata.

rusuh.

mereda. masih saling curiga.

dengan tiba-tiba pula orang yang pertama berteriak bertanya, "apakah kalian tadi mencium bau kentut?"

dengan wajah bingung, mereka saling memandang satu sama lain. masih bingung.


--------------------------
Sulist
28 Des 08

apakah dia selalu benar???.........

------------------------------------------

Perempuan dan Kekerasan Simbolik

Perempuan dan Kekerasan Simbolik

Oleh Sulistiyawati [*]

Menyakitkan. Ketika seorang perempuan harus manahan makan supaya bisa langsing, harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli kosmetik dan dandan di salon untuk memutihkan kulit, meluruskan rambut. Secara otomatis banyak perempuan bilang “Si Mira tuh sebenarnya cantik, tapi agak gendut”. Selalu ada penekanan kata tapi pada sifat cantik dan gendut. Kenapa tidak menjadi seperti ini. “Si Mira tuh cantik, dan agak gendut”. Kata dan disini lebih mensejajarkan dan tidak menghakimi. Sekali waktu, kata dan itu pernah dipakai dalam konteks ini, tapi anda boleh lihat raut wajah orang yang mengatakannya, pasti ia sambil mencibirkan bibirnya.

Demi ‘kebahagian’ yang bernama terlihat ‘kecantikan semu’ (semu—karena cantik adalah hasil konstruksi yang sifatnya seragam dan tanpa disadari telah disepakati bersama), perempuan rela melakukan dengan berbagai macam cara bahkan dengan menyiksa dirinya. Dan standar cantikpun adalah laki-laki. Ya, keberhasilan dari sebuah kecantikan adalah seberapa banyak ia mampu memikat perhatian laki-laki. Untuk terlihat cantik, perempuanpun harus memenuhi syarat seperti yang terpampang dalam hampir setiap media, terlebih iklan. Nazaruddin dalam sebuah artikel populernya, terinspirasi dari pola pemikiran Descrates tentang eksistensialisme, menuliskan bagaimana pemujaan kecantikan sepanjang jalan, mall, majalah, media, poster, dll. “Aku cantik, maka aku ada”.

Untuk bisa eksis, perempuan harus cantik seperti yang telah “disepakati” bersama. Perempuan harus ikut permainan ini. Dan dalam permainan bernama kecantikan ini, ada auran mainnya. Ia harus langsing, putih, ramput panjang lurus, baju pun harus bisa menonjolkan bagian yang sudah menonjol. Ia ada yang tidak mengikuti aturan main, yaitu tidak memenuhi kriteria, tidak memenuhi kelengkapan administrasif prosedur sebuah image cantik, ia gugur. Dan ini wajar, kata mereka.

Lalu bagaimana yang item, gendut, pendek, pesek? Ya, silakan melakukan pemutihan, bisa dengan kesalon, atau suntik putih, minum obat cuci perut (ini pelangsing), atau terserah anda. Gila, nalar ini yang tidak bisa diterima kaum item, pesek, gendut dan pendek. Tapi banyak yang bilang ini wajar, bahkan disahkan oleh semua media dan juga kaum perempuan sendiri. Ini penindasan. Sangat menyakitkan ketika ketertindasan kemudian dianggap sebagai hal yang sangat wajar.

Situasi ini seolah adalah pesanan, order dari laki-laki. putih, mulus, langsing, menonjolkan yang sudah menonjol. Sangat masuk akal. Muara dari image cantik (penyeragaman kecantikan) bermuara dari media. Kita semua tahu, media adalah banyak dipegang laki-laki. Melalui kamera, laki-laki memilih objek yang mereka anggap ‘menjual’, kemudaian ia tonjolkan dalam sebuah gambar. Lalu ia sebarkan gambar itu lewat media. Image itu kemudai direpoduksi terus-menerus. Sampai akhirnya—meminjam istilah Roland Bathes—menjadi mitos.

Inilah dominasi laki-laki yang tercermin lewat media. Dan terus menerus direproduksi di majalah, TV, poster di jalan, dan berbagai iklan lain. Melihat berbagai upaya perempuan akan pesanan laki-laki yaitu terlihat cantik, sebenarnya adalah sebuah kekerasan. Oleh Pierre Bourdieu dikatakan sebagai “kekerasan simbolik”. Kekerasan yang oleh para korban (perempuan), tidak dirasa sebagai tindak kekerasan. Perempuan melakukan dengan senang hati. Perempuan akan bangga ketika ia telah memenuhi syarat cantik. Kalau tidak percaya, coba anda bilang pada teman anda “kamu kok tambah putih sih”, atau coba anda pura-puara bertanya pada teman perempuan anda “kamu kurusan ya?”. Sumpah hidup-mati, saya berani bertaruh perempuan itu akan terngiang-ngiang. Jika ia lihat kaca, ia akan ngaca sejadi-jadinya. Minta ampun.

Cantik seperti yang telah digembar-gemborkan di berbagai media ini, dengan berbagai upaya yang perempuan lakukan, adalah sebuah prestasi. Bahkan sebuah peusahaan kosmetik terkemuka, dengan dalih perempuan harus punya inner beauty, akhirnya dapat piala penghargaan prestasi kecantikan. Tapi tetap saja, perempuan itu harus cantik fisik juga.

Haryatmoko, seorang pegajar pascasarjana Filsafat UI mengatakan, pada dasarnya kekerasan simbolik terjadi karena ketidaktahuan atas ‘pegakuan’ dari yang ditindas. Jadi, logika dominasi ini kemudian diterima baik oleh kedua pihak, yaitu yang menguasai dan yang dikuasai. Kondisi inilah yang kemudian disebut dengan hegemoni. Kenikmatan dalam penindasan. Seolah-olah perempuan akan merasa senang, bangga dengan apa yang telah diupayakannya, yang kemudian dianggap sebagai sebuah prestasi.

Cara berfikir laki-laki tentang image perempuan cantik, juga diadopsi oleh logika perempuan. Bahkan tidak hanya dalam hal kecantikan, juga dalam setiap hal. Setiap bentuk protes perempuan atas ketidakpuasannya, harus dapat dijelaskan melalui sebuah argumen, menuntut alasan dan penjelasan. Karena sebuah kebisuan dan tangisan perempuan tidak cukup mampu memberikan penjelasan atas penderitaan dan kepedihan hati perempuan. Laki-laki sangat pintar berwacana. Bahkah --masih kata Haryatmoko—berdebat adalah cara laki-laki untuk menang.

Annie Leclerc dalam bukunya yang berjudul Jika Perempuan Angkat Bicara” menasihatkan pada perempuan, “Jangan berperang melawan laki-laki. Hal itu justru merupakan cara dia untuk memenangkan nilainya. Menyangkal untuk menegaskan diri. Membunuh untuk hidup. Cukup kita kurangi isi nilai-nilainya dengan menertawakannya.” Karena muara penindasan laki-laki adalah dalam ranah logika. Logika laki-laki yang dipaksakan untuk diterima oleh logika perempuan.


[*] Perempuan yang masih terhegemoni dengan kecantikan. Dan boleh kalian ingat, “kau cantik karena aku ada”. Karena, kalau tidak ada yang dianggap jelek, yang cantik tidakakan ada. Berterimakasihlah padaku, karena aku ada sehingga kalian terlihat cantik. Tapi maaf, saya memakai kata “terlihat” dalam konteks ini. Karena konsep kantik belum terumuskan secara pasti. Cantik bagi saya masihlah sebatas hasil kontruksi yang kemudian disepakati bersama.

HANYA SEBUAH CERITA TANPA MAKNA

Ini memang sebuah cerita tanpa makna. Ya, tak usah kau cari maknanya. Nikmati saja. Seolah kau sedang mendengarkan aku bercerita dalam perjalannku. Cerita yang berawal dari sebuah keinginan seorang wanita untuk berjalan menikmati hujan. ow, tidak juga. Aku berjalan tidak ada tujuan. Bukan untuk menikmati hujan, bukan untuk menikmati perjalan, bukan untuk mencari inspirasi. Ya karena aku sedang tidak memiliki keinginan.

Aku pulang dari kampus sudah malam. Kehujanan pula.aku malah melambatkan sepeda motorku. Biasanya aku langsung tancap gas, melindungi kepala terutama mata. Kali ini tidak. Ku rasakan betul air-air itu menjatuhi diriku. Bajuku basah. Emang kenapa kalau basah? Samapai di kost tinggal di lepas. Lalu dicuci. Apa susahnya? Aku tidak merasa keberatan aku akan sakit, bajuku basah atau apapun. Banyak sepeda motor dengan kecepatan tinggi menerjang hujan. Ya, terserah saja. Aku juga pernah seperti itu. Aku maklum. Aku juga tidak terganggu.mereka punya alasan untuk ngebut. Tapi aku tidak punya alasan untuk pelan. Mungkin mereka akan bilang aku gendeng, atau bahkan cari sensasi. Terserah. Aku hanya menikmati hujan. yang sering kali aku hindari. Itu aja.

Begitu sampai dikos, ku masukkan motor. Ku letakkan tas dan Hpku di kamar. Aku tidak rela barang-barang itu dan sesuatu didalamnya basah. Sudah malam memang, hampir pukul sembilan.

“ Aku pergi sebentar ya.. Jangan dikunci dulu.”

“ Iya mbak”

Dari kemarin badanku hangat. Tapi malam ini kakiku terus melangkah. Aku bingung kanapa bisa aku sepeti ini. Aku seperti hidup absurd. Apa itu absurd? Aku juga tidak tahu. Aku Cuma melangkah. Tak ada keinginan, tak ada tujuan. Aku heran, kok aku tidak merasakan capek sama sekali. Padahal aku sedang sakit.

Terus saja ku langkahkan kakiku dalam hujan kearah kampus, terus kedepan menyusuri jalan yang biasa orang lalui. Aku cuma mengikuti kakiku.

Rintik air masih terus turun, terlihat jelas ketika ku lihat kearas. Kerah lampu. Lebih terang, makanya rintik air yang sangat kecil itu lebih terlihat disana. Cukup lama aku memandanginya sambil terus berjalan. Bagus ternyata. Tak lama, ku tundaukkan kepalaku. Kulihat kakiku yang melangkah pada genangan air yang tak meresap. Mungkin kerena bumi tanah itu tak lagi tanah melainkan peving-paving kotak yang tersusun miring-miring.

Ku lihat juga seorang pria mengendarai sepeda motor menuju Gedung besar di sebelah kiri itu. Tapi tak ku hiraukan. Terus saja aku melangkah. Rasa penasanku terus mendesak. Sebenarnya aku kenapa? Seharusnya aku istirahat. Seharusnya aku capek. Kanapa aku malah terus melangkah, terus menjauh dari tempat dimana aku bisa istirahat. Jangan-jangan aku mati rasa? Memang iya. Aku tidak merasa sedih. Tidak merasa senang, tidak sedang bahagia. Tidak lapar. Tidak haus. Tidak capek. Tidak ngantuk. Tidak… Tidak…Tidak. Aku tak tau mau sampai mana kakiku melangkah.

Ada dua hal yang aku takutkan.yang pertama, jika nanti ada orang jahat, aku diperkosa dijalan. Yang kedua aku benar-benar khawatir aku sudah gila? Aku jadi penasaran, apa yang orang gila rasakan, pikirkan. Aku takut aku juga gila. Aku tidak merasakan apapun. Ah tidak, aku tidak gila. Aku masih punya kecemasan dan puya rasa takut. Berarti aku masih bisa berikir. Berpikir menandakan bahwa manusia tidak gila. Emang orang gila sadar bahwa mereka gila? Ku pikir tidak. Mereka tidak sadar mereka gila. Mereka pasti tidak tau bahwa mereka gila. Mereka bilang, aku tidak gila. Dan aku juga bilang aku tidak gila. Apa bedanya aku dengan mereka?

“Astagfirullah, astagfirullah, astagrirullah.” Aku tersenyum. Aku tidak gila. Tapi kenapa aku masih tidak merasakan sedih ataupun senang. Apakah ini normal? Aku tidak tahu. Sudahlah. Aku seperti sedang bermimpi.

“Tyas. Sudah berbaliklah. Berbaliklah. Pulang. Ayo pulang!!” tapi aku tetap melanjutkan langkahku. Dibeberapa gedung masih ada banyak orang. Di FTI, FTSP, MIPA, da masjid Ulil. Aku sedikit cemas dan bertanya dalam hati.

“apa yang mereka pikirkan tentang aku ya?”

Seorang wanita, malam-malam berjalan sendirian di tengah hujan. aku menerka-nerka apa yang mereka pikirkan tentang aku.

“Mungkin tidak punya motor butuk sesuatu kedepan kampus. Kepepet harus jalan.” atau “Lagi pahat hati.”

Itu yang ku pikirkan. Makanya setiap ada orang, selalu ku siapkan wajah ceria tanpa berlebihan.

Sampai aku jalan setelah KOPMA. Sepi dan Gelap. Aku membayangkan akan ada hantu berbaju putih. Tak sedikitpun aku merasa mrinding.Trus k lanjutkan perjalananku setak demi setap. Pelan-pelan dan santai. Tak capek aku sedikitpun. Aku masih berpikir mau kemana. Ya sudah aku ke kost temanku. Tadi diam diam-diam dia menyelipkan surat di tasku. Aku tak paham isinya. Itu mungkin bisa ku jadikan alasan walaupun masih tak rasional. Tapi biarkan saja. Aku tidak cukup peduli.

Kini kau punya tujuan. Walaupun tujuan itu sangat dibuat-buat.

Tiba-tiba aku melihat uang aepuluh ribi tergelak basar di jalan. ku ambil. Ke serahkan uang itu pada seorang bapak yang menjaga warung tepat di samping aku menemukan uang itu.

“Maaf pak, saya nemu uang sepuluh ribu pak di depan situ.”

“Tapi saya ga kehilangan tu mbak.”

“Oh ya udah. Mungkin bisa dimasukan di kotak amal saja pak.”

“ O iya.”

“Makasih Pak.”

Aku menyebrang. Sampai pada tempat tujuanku. Aku sudah menyiapkan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang bakal ia lontarkan.

Aku sudah sampai. Kamarnya berada di paling ujung depan. Berada di luar rumah induk tapi tak terpisah. Lampunya nyala. Sandalnya tidak ada. Kamar itu tidak dikunci karena rusak. Entah sejarahnya bagaimana bisa rusak. Untuk menguncinya menggunakan gembok. Tapi gembok bagian besi yang seharusnya masuk mengunci, tidak rapat. Masih ada sela jadi gamapang untuk dibuka dan masuk kekamarnya. Aku tidak tahu penghuninya dimana. Entah pergi atau sekadar ke kamar mandi. Tapi aku begitu berharap dia ada di kamarnya. Kalau ada, akan ku temai. Kalau tidak,aku akan kembali ke kosku.

Aku tidak berusaha bertanya atau mencarinya. Kini aku berjalan pulang. Langkahku masih sama. Pelan dan santai. Aku belum capek. aku juga masih belum mengerti alasan apa yang bisa melakukan hal konyol ini. Aku tidak lagi mencari alasan rasional atas kekonyolalku ini. Konyol mana mungkin rasional. Konyol ya konyol saja. Tapi apa iya, manusia akan melakukan sesuatu dengan didasari alasan konyol? Menurutku, bagi orang waras, tidak mungkin. Mungkin iya, sesekali. Bisa saja. Tapi dengan catatan, orang itu pasti sedang irasional. Dan tidak selamanya orang waras, melakukan hal-hal konyol. Sudahlah membahasi inipun kurasa sama konyolnya.

Selama perjalanku, aku menapakan kaki pada paving-paving dan aspal. Tidak ada yang masih tanah. Benar juga. Pantas saja air menggenang dimana-mana. Kalau ada motor melaju, kerap sekali sekali air yang menggenang itu menyiprat. Dan sering kali orang-orang yang ada disekitarnya jadi korban. Air berkah. Berkah dari mana? Air kotor kok berkah. Syukur bukan air comberan.

Aku melewati lagi masjid Ulil. Sekumpulan orang-orang yang tadi berkumpul masih ada. Dan sikapku masi sma. Pasang tamapang sewajar mungkin. Dalam hati aku masih berfikir yang sama: pasti mereka mengira aku aneh.

“ Ini orang kenapa seh, hujan-hujan malah pergi bolak-balik. Malam-malam lagi. Ga takut apa?” mungkin seperti itu. Tapi aku tidak ingin tahu lebih jauh. Tidak ada gunanya.

Sesekali aku membuat variasi berjalanku. Ada paving yang didudun dengan susuna tertentu. Ada yang membujur dan ada yang membentang. Aku juga membuat pola berjalan menyesuaikan paving yang membujur 3 deret. Aku hanya menginjak paving dengan pola itu. Bukan untuk apa-apa. Tanpa tujuan. Hanya iseng. Boleh kan?

SLS- 13 Feb 2009

Jogja-coklatnya belum ku makan.

EMOSI...!!!

lembaran-lembaran kertas dengan sebongkah kerendahdirian yang angkuh.
keangkuhan yang terbungkus dalam lembaran-lembaran
YANG semakin membangkitkan EMOSI...

--------------
sulist
6 april 2009

orang yang tak pernah jujur pada dirinya sendiri...
sekalipun ketika ia menulis mungkin..
mungkin saat itulah ia benar-benar tak ada harganya...
(seno Gumira A.)

DITOLAK....!!!

ada seorang pengemis mendatanginya.tak juga ia mengulurkan angan.
ada seorang pengamen bernyanyi di depannya. tanpa tangan terulur mengusirnya.
ada seorang peminta sumbangan datang ker rumahnya.
tanpa basa-basi bilang, "ga mas. ga ada duit"
ada kotak amal keliling di masjid.acuh, lewat begitu aja.

-------------------
sulis
7 januari 09

dipermudah untk beramal, ditolak.......
------------------------------------------------

KAMPUNGAN SEMUA

dua orang perempuan muda duduk sendiri di caffe.
kelihatannya sedang menunggu teman-temannya.tak jauh dari mereka ada gerombolan anak muda juga.
gerombolan itu ramai.kadang tertawa ngakak. keras.
hingga dua perempuan yang menunggu temanya tadi sedikit emosi dan
mengumpat lirih."hih, norak banget seh. gitu aja heboh. dasar kampung!!!"

tak lama kemudian orang-orang yang ditunggu dua perempuan ini datang.
merekapun ramai. tak kalah dengan gerombolan kampung yang tadi mereka hina.


--------------
sulis
7 januari 09

lupa tak bercermin........
-------------------------------------------

ADA YANG KANGEN


dua orang perempuan duduk tak berjauhan dengan kesibukan masing-masing.
salah seorang yang membaca buku terganggu oleh gerak-gerik lainnya.

"kamu ngapain sih?? bisa tenang sedikit ga?" tanyanya.

masih mendekap dadanya erat dengan dua tangan bersilang dan wajah cengar cengir
dia menjawab, "toketku* gatel". Sangat lugas.

"yang sebelah mana?"
"kanan."
"kata orang kalau toket getel, ada yang kangen"
"oh ya??"dengan muka kaget dan rasa senang yang disembunyikan kemudian ia melanjutkan
"sering banget toketku gatel."

"iya,iyalah. Kutang yang laen yang kangen."


-------------------------
Sulist
28 Des 08
'sesuatu yang menyenangkan memang menyenangkan.
.........hingga kita lupa bahwa kita hendak jadi hina.'
------------------------------------------------------

Bukan Filsuf

di sebuah kafe ada dua sahabat duduk menikmati malam dan secangkir kopi.
mereka tak banyak bicara memang. mereka disibukan dengan pikiran masing masing.

"hidup ini seperti secangkir kopi" kata salah satunya

"apa maksudmu?" tanya seorang lagi penasaran.

"mana aku tahu. aku bukan filsuf" jawabnya tenang.




--------------------------
sulis
7 januari 09

akupun bingung.........
ini bukan tulisanku,
aku hanya teringat pada salah satu tulisan di buku yang pernah kubaca sewaktu SMA
yang hingga kini masih terus ku cari pemaknaannya...
tak pernah q dipuaskan oleh makan-makna yang ku dapat
------------------------------------------------------------------------------------------

Gombalisme

Ini kan sebenarnya rubrik bebas. Berhubung malem jum;at kliwon kemarin mbah Karto bilang ngasih wangsit,... ya harus dilaksanakan. Aku disuruh dateng ke suatu tempat.

Crita gini.. malem jum'at kemarin kan aq semedi tu... eitz, nga peke menyan. Cukup kembang tuju rupa ma lumpia pathuk tuju warna. Di tengah hutan, banyak pohon gede, tinggi, rimbun, burung hantu, semut, ulet bulu, ulet-uletan. Hiiiiiiiii......

ada gue, eh Gua kamsudnya. Tiba-tiba Mbah brewok, rambut putih, mata putih, jubah putih, kulit putih. Yee........, itu mah bule ato Albini eh,,, albino???

Mbah Karto : Zoo, ngopo kw rene?

Zoo : heuk.....kaget aq. Rapopo Mbah. Ming kangen karo kw mbah.

Mbah Karto ; aq ki mbah mu. Sing sopan tho?

Zoo : yeoh... ngono yo kenoh.

Mbah Karto : Zoo, mbah mu ki wes tuo... si James kae nggantheng tapi rong duwe bojo. Kowe gelem po, karo putu kui?

Zoo : (kuaget!!!!)..... tapi ...aq....aq....wes...wes...wes...

Mbah Karto : wes opo?? Wes duwe calon???

Zoo : WES GELEM KET MBIYEN,,, kok ge ngomong saiki.

Mbah Karto : ooooooooooooo hallah. Tapi yo kui...

Zoo : tapi opo Mbah??

Mbah Karto : tapi...

Zoo : TAPI OPO???????

Mbah Karto : we ha dalah.galak tenan cah siji kie..... ra sido nek ngono!!!!!!

Zoo : Ngono yo ngono. Tapi mbok ojo ngono??

Mbah Karto : lha kowe galak. Aku we emoh. Opo meneh putu ku sing nguanteng..

Zoo : Mbah, what's your karep???

Mbah Karto : kowe ngerti bal ireng sing nong ngarepku iki?

Zoo : ora.

Mbah Karto : kowe ngerti jubah sing ta enggo iki?

Zoo : ora.

Mbah Karto : kowe ngerti sendal theklek sing tak enggo iki?

Zoo : ora.

Mbah Karto : sing kowe ngerti ki opo?

Zoo : lha emang ngopo e Mbah??

Mbah Karto : ora po po. Ming arep pamer sithik.

Zoo : ekk, (butuh hexos neh)....

lha nasib ku karo james piye??

Mbah Karto : tenangno pikirmu. Wes ta pikirke...mengko ta omongi??saiki Dolanan gaplek sek wae yo??!!!

Zoo : gah. Omongi sek tho??

Mbah Karto : sabar. Gaplek sek wae...

Zoo : weh ju... aq bali wae lah. Ra urusan.... Bali yo bali......

Cling...Mbah Karto ilang.........hiiiiiiiiiii.

--------------TAMAT-----------

BERTAHANLAH

aku duduk sendiri ketika semua orang beraktifitas. duduk dilantai bersandar pada
tembok ternyata membuatku sedikit rileks. aku hanya melihat mereka.
ini tidak biasanya aku lakukan.aku lagi malas berakifitas. aku duduk di teras
kampus sambil memebaca buku yang kamarin aku pinjam dari temanku. buku yang cukup
menarik. tapi aku tidak akan memikirkan isi buku itu.karena aku tidak begitu
konsen membacanya saat ini.pikiranku melayang pada hal lain.bukan memikirkan sesuatu.
tapi mencari sesuatu untuk dipikirkan. ada yang ganjal, yang membuat pikiranku ga anteng
sekarang.sesekali aku melihat sekelilingku, bukan untuk mengamati apa yang mereka lakukan.
hanya kebiasaan banyak orang saja ketika malas beraktifitas, sibuk dengan pikiranya dan
mengkambinghitamkan buku sebagai tameng kekalutan otaknya.

aku hanya memikirkan untuk apa aku duduk disini. harus ada yang kudapat dari
apapun yang kulakukan.tak terkecuali sekarang.aku tidak ingin membuang waktuku.paling
tidak aku bisa berfikir dan menemukan gagasan baru untuk merencanakan hidupku.

tapi ternyata aku hanya duduk, berusaha keras untuk mendapat sesuatu itu. dengan
sedikit kepasrahan satu satunyayang ku dapat adalah "sanggupkah aku untuk terus hidup"
yang nantinya harus aku pertanggungjawabkan. itulah yang ku yakini. apakah minta ampun
dapat dapat dimaafkan setelah semua hal yang bertentangan dengan nuraniku ku lakukan?
berbuat lagi minta ampun lagi.berbaut lagi minta ampun lagi.aku tidak sanggup berbuat
apapun. bahkan pada diriku sendiri.
mengapa begitu sulit, berat dan "gelap" jalan_Mu?? atau aku yang begitu takut.
sering kali "sendiri" menjadi momok yang mengerikan..

AKU SENDIRIAN dengan puluhan orang disekitarku.
kenapa aku merasa Tuhan saja tidak cukup??
atau karena aku aku tidak terbuka kepada-MU??
Atau karena Kau tak bisa ngomong??
atau aku yang terlalu budeg untuk mendengar-Mu?

mataku mulai berkaca-kaca, tapi kutahan. jelas, aku tahu tempat dimana aku berada sekarang.
tapi tak dapat kutahan pikiranku untuk terus berfikir. aku harus pulang. aku tak tahan lagi.

ku ambil air wudhu.kebelulan sekarang waktu Ashar.waktu yang tepat untukku. aku tidak fokus
pada sholatku. rasa yang tadinya membuncah didadaku, kini pecah bersama bitiran air yang
meleleh dari mataku.ada sedikit sensasi nyinyir, nyeri di dadaku. tapi nikmat kurasa.
semakin banyak airmataku semakin nikmat. aku sedang menikmati kesedihanku.

benar yang dikatakan Habiburahman El shirazhi dalam novel Ayat-ayat Cintanya, ambilah nyawa
sisa umurku jika tidak membawa berkah.

aku teringat seorang temanku. sempat aku membaca sedikit tulisannya, dia ingin hidup
seribu tahun lagi seandainya itu mungkin. aku tidak tahu alasan apa yang membuatnya begitu
berani untuk hidup lebih lama.
mungkin memang Tuhan menantang kita bukan untuk berani mati seperti pasukan Sudirman dulu
tapi berani hidup.keberanian itulah yang belum kumiliki. karena aku tidak tahu bagaimana
caranya.

ajari aku bagaimana harus menapakan kaki di bumi-MU ini Tuhan!!!!



5 juni '08
di sore yang gaduh.
aku ingin memelukmu.mungkin hanya itu yang bisa kulakukan sekarang...
ibu