Minggu, 05 April 2009

Perempuan dan Kekerasan Simbolik

Perempuan dan Kekerasan Simbolik

Oleh Sulistiyawati [*]

Menyakitkan. Ketika seorang perempuan harus manahan makan supaya bisa langsing, harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli kosmetik dan dandan di salon untuk memutihkan kulit, meluruskan rambut. Secara otomatis banyak perempuan bilang “Si Mira tuh sebenarnya cantik, tapi agak gendut”. Selalu ada penekanan kata tapi pada sifat cantik dan gendut. Kenapa tidak menjadi seperti ini. “Si Mira tuh cantik, dan agak gendut”. Kata dan disini lebih mensejajarkan dan tidak menghakimi. Sekali waktu, kata dan itu pernah dipakai dalam konteks ini, tapi anda boleh lihat raut wajah orang yang mengatakannya, pasti ia sambil mencibirkan bibirnya.

Demi ‘kebahagian’ yang bernama terlihat ‘kecantikan semu’ (semu—karena cantik adalah hasil konstruksi yang sifatnya seragam dan tanpa disadari telah disepakati bersama), perempuan rela melakukan dengan berbagai macam cara bahkan dengan menyiksa dirinya. Dan standar cantikpun adalah laki-laki. Ya, keberhasilan dari sebuah kecantikan adalah seberapa banyak ia mampu memikat perhatian laki-laki. Untuk terlihat cantik, perempuanpun harus memenuhi syarat seperti yang terpampang dalam hampir setiap media, terlebih iklan. Nazaruddin dalam sebuah artikel populernya, terinspirasi dari pola pemikiran Descrates tentang eksistensialisme, menuliskan bagaimana pemujaan kecantikan sepanjang jalan, mall, majalah, media, poster, dll. “Aku cantik, maka aku ada”.

Untuk bisa eksis, perempuan harus cantik seperti yang telah “disepakati” bersama. Perempuan harus ikut permainan ini. Dan dalam permainan bernama kecantikan ini, ada auran mainnya. Ia harus langsing, putih, ramput panjang lurus, baju pun harus bisa menonjolkan bagian yang sudah menonjol. Ia ada yang tidak mengikuti aturan main, yaitu tidak memenuhi kriteria, tidak memenuhi kelengkapan administrasif prosedur sebuah image cantik, ia gugur. Dan ini wajar, kata mereka.

Lalu bagaimana yang item, gendut, pendek, pesek? Ya, silakan melakukan pemutihan, bisa dengan kesalon, atau suntik putih, minum obat cuci perut (ini pelangsing), atau terserah anda. Gila, nalar ini yang tidak bisa diterima kaum item, pesek, gendut dan pendek. Tapi banyak yang bilang ini wajar, bahkan disahkan oleh semua media dan juga kaum perempuan sendiri. Ini penindasan. Sangat menyakitkan ketika ketertindasan kemudian dianggap sebagai hal yang sangat wajar.

Situasi ini seolah adalah pesanan, order dari laki-laki. putih, mulus, langsing, menonjolkan yang sudah menonjol. Sangat masuk akal. Muara dari image cantik (penyeragaman kecantikan) bermuara dari media. Kita semua tahu, media adalah banyak dipegang laki-laki. Melalui kamera, laki-laki memilih objek yang mereka anggap ‘menjual’, kemudaian ia tonjolkan dalam sebuah gambar. Lalu ia sebarkan gambar itu lewat media. Image itu kemudai direpoduksi terus-menerus. Sampai akhirnya—meminjam istilah Roland Bathes—menjadi mitos.

Inilah dominasi laki-laki yang tercermin lewat media. Dan terus menerus direproduksi di majalah, TV, poster di jalan, dan berbagai iklan lain. Melihat berbagai upaya perempuan akan pesanan laki-laki yaitu terlihat cantik, sebenarnya adalah sebuah kekerasan. Oleh Pierre Bourdieu dikatakan sebagai “kekerasan simbolik”. Kekerasan yang oleh para korban (perempuan), tidak dirasa sebagai tindak kekerasan. Perempuan melakukan dengan senang hati. Perempuan akan bangga ketika ia telah memenuhi syarat cantik. Kalau tidak percaya, coba anda bilang pada teman anda “kamu kok tambah putih sih”, atau coba anda pura-puara bertanya pada teman perempuan anda “kamu kurusan ya?”. Sumpah hidup-mati, saya berani bertaruh perempuan itu akan terngiang-ngiang. Jika ia lihat kaca, ia akan ngaca sejadi-jadinya. Minta ampun.

Cantik seperti yang telah digembar-gemborkan di berbagai media ini, dengan berbagai upaya yang perempuan lakukan, adalah sebuah prestasi. Bahkan sebuah peusahaan kosmetik terkemuka, dengan dalih perempuan harus punya inner beauty, akhirnya dapat piala penghargaan prestasi kecantikan. Tapi tetap saja, perempuan itu harus cantik fisik juga.

Haryatmoko, seorang pegajar pascasarjana Filsafat UI mengatakan, pada dasarnya kekerasan simbolik terjadi karena ketidaktahuan atas ‘pegakuan’ dari yang ditindas. Jadi, logika dominasi ini kemudian diterima baik oleh kedua pihak, yaitu yang menguasai dan yang dikuasai. Kondisi inilah yang kemudian disebut dengan hegemoni. Kenikmatan dalam penindasan. Seolah-olah perempuan akan merasa senang, bangga dengan apa yang telah diupayakannya, yang kemudian dianggap sebagai sebuah prestasi.

Cara berfikir laki-laki tentang image perempuan cantik, juga diadopsi oleh logika perempuan. Bahkan tidak hanya dalam hal kecantikan, juga dalam setiap hal. Setiap bentuk protes perempuan atas ketidakpuasannya, harus dapat dijelaskan melalui sebuah argumen, menuntut alasan dan penjelasan. Karena sebuah kebisuan dan tangisan perempuan tidak cukup mampu memberikan penjelasan atas penderitaan dan kepedihan hati perempuan. Laki-laki sangat pintar berwacana. Bahkah --masih kata Haryatmoko—berdebat adalah cara laki-laki untuk menang.

Annie Leclerc dalam bukunya yang berjudul Jika Perempuan Angkat Bicara” menasihatkan pada perempuan, “Jangan berperang melawan laki-laki. Hal itu justru merupakan cara dia untuk memenangkan nilainya. Menyangkal untuk menegaskan diri. Membunuh untuk hidup. Cukup kita kurangi isi nilai-nilainya dengan menertawakannya.” Karena muara penindasan laki-laki adalah dalam ranah logika. Logika laki-laki yang dipaksakan untuk diterima oleh logika perempuan.


[*] Perempuan yang masih terhegemoni dengan kecantikan. Dan boleh kalian ingat, “kau cantik karena aku ada”. Karena, kalau tidak ada yang dianggap jelek, yang cantik tidakakan ada. Berterimakasihlah padaku, karena aku ada sehingga kalian terlihat cantik. Tapi maaf, saya memakai kata “terlihat” dalam konteks ini. Karena konsep kantik belum terumuskan secara pasti. Cantik bagi saya masihlah sebatas hasil kontruksi yang kemudian disepakati bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar