Minggu, 05 April 2009

Sebuah Pengakuan

Sulist[i]


Karena ketika menulis kita pasti berfikir. Lalu mnulis lagi lalu berhenti lagi. Itulah ritual menulisku. Begitu juga ketika ditanya tentang motivasi menulis kemudian dituliskan. Aku berfikir, mencoba untuk merenungkan apa yang sebenarnya menggerakkanku untuk menulis. Aku sepakat dengan Seno Gumirah ketika dia bilang dalam sebuah cerpennya “….boleh saja dia brengsek dan sialan, namun ketika menulis —apalagi tentang dirinya sendiri— sungguhketerlaluan jika ia tidak juga menjadi ornag baik, orang yang jujur. Kerena kalau tidak, barangkali ia benar-benar tidak ada harganya.” Berangkat dari kesepakatan itulah, tulisan ini akan jadi pengakuanku.

Menulis menjadi aku jadikan sebagai komitmen harian. Walaupun kadang sulit juga untuk setia. Ini semata-mata kulakukan karena aku adalah calon seorang jurnalis. Apa jadinya kalau jurnalis tidak bisa menulis? Aku belum bisa menulis utuh. Banyak sekali tulisanku berhenti di tegah jalan. Bingung mau mengembangkannya bagaimana. Mungkin juga karena keika menulis aku terpasung oleh keinginan untuk menulis bangus, yang disanjung banyak orang, memukau, sistematis. Aku lupa bahwa menulis itu sebanarnya mengalir. Tapi tak juga kata-kata itu mengalir. Akhirnya terhenti. Alirannya mampet. Ya, itulah motivasi menulisku pada awalanya. tapi apakah nista kalau aku hanya punya motivasi cetek itu? Kalau iya, aku akan membela diri. Aku adalah orang yang sangat menghargai proses. Manusia selalu berproses, ia takkan pernah lepas dari proses. Seiring dengan bertambahnya kedewasaan, pengalaman, ilmu yang dia dapat ia akan terus berproses. Walaupun proses itu punya dua kemungkinnan akibat. Makin baik atau malah makin buruk. Yah bisa saja makin buruk, kasihan, pasti ia orang yang tidak beruntung.

Pernah sekali aku membaca buku Faudil Azhim, aku lupa judulnya. Dia menuliskan seperti ini, penulis besar menuangkan kata kerena membaca, sedangkan penulis mabuk: membaca kerena mau menulis.” Aku adalah orang mabuk. Aku bertanya

lagi, apakah nista kalau membaca kerena mau menulis? Kalau iya, aku mau melakukaan pembelaan lagi. Membaca itu tidak hanya buku, peristiwa juga bisa kita baca. Ya kita baca dengan pikiran kita. Buku dan peristiwa itu ternyata membuat pikiran kita diprovokasi tidak karuan. Menjadi gaduh (istilah temanku). Kegaduhan itu kemudian mendesak untuk dilahirkan. Entah sebatas didiskusikan pada teman, atau dalam bentuk tulisan. Jadi menulis itu memang karena membaca, jadi bacalah dulu sebelum menulis. Menurutku itu lebih tepat. Bukankah semakin banyak kita membaca, semakin pintar kita membaca, maka semakin pintar juga kita menulis?

Untuk mengawali tulisan saja sudah susah. Ini menjadi kendala banyak penulis. Di satu kesempatan aku baca lagi buku Faudil Adzim yang juga banyak diucapkan oleh pemateri dalam seminar-seminar penulisan. Sering sekali ku dengar “Tulis sekarang juga.” Iya tapi apa yang mau ditulis itu yang bingung. seing sekali kita terkungkung dalam memulai tulisan. Aku sadar masalahnyaku satu: aku ingin menulis bagus, terlihat intelek, berkarakter. Akhinya kutulis apa saja. Apapun yang terlintas tanpa peduli bagus tidaknya, intelek tidaknya, berkarakter atau tidaknya. Semua akan ku perbaiki nanti setelah mau memperbaikinya. Yang penting judulnya bagus. Judge the book by its cover, judge the article by its title.

Setelah awalan selesai, mengalir kedalam beberapa paragraf, mampet. Mau ku bawa kemana lagi tulisan ini? Setelah itu ternyata tulisanku selesai. Banyak tulisaku terhenti samapi disitu. Dan sekarang masih seperti itu. Ibarat pakaian, tulisan itu pakai baju tapi belum pakai celana. Jadi masih saru kalau keluar dari “ruangan komputerku”.




[i]Seorang mahasiswa yang tahu hidup itu berproses, tapi lupa ada percepatan proses, setelah ingat ia tidak tahu cara percepatannya. Seperti istilah temanku, ia terlalu lelet seperti bekicot,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar