Kamis, 30 April 2009

cerpen-EMAK MEMUKULKU LAGI

Emak memukulku lagi. Aku katahuan berkelahi di sekolah hari ini. Bukan, bukan karena itu emak memukulku. Aku tahu. Ia hanya capek dan kesal. Sudah biasa. Kali ini juga begitu. Setelah memukuliku, sambil menggendong adikku yang berumur dua 2 tahun, emak memandikanku di pancuran belakang rumah. Mulutnya masih ngomel marah marah. Aku sesenggukan. Tapi tak juga ia berhenti marah-marah.
***

3 bulan lalu, aku pindah rumah. Aku sekarang tinggal di rumah kecil. Emak punya sepetak kebun kopi. Di tenggah-tengah kebun itulah aku tinggal. Rumah? Bukan. Gubug tepatnya. Tapi tak apalah. aku mau menyebutnya rumah saja. Aku tidak mau kau terlalu kasihan padaku. Rumah ini dibuat setelah emak diceraikan bapak. Ku dengar bapak ketahuan tidur dengan seorang tetanggaku. Ia janda cantik. Lalu bapakku akan menikahi janda itu. Ya walaupun janda itu lebih tua, tapi ia memang lebih cantik.

Rumahnya tak jauh dari rumahku sekarang. Mau bagaimana lagi, kebun ini satu-satunya yang emak punya. Ini warisan dari kakekku. Bapakku yang miskin tak bisa beri apapun. Kalaupun punya tanah lain, emak tak akan sudi tinggal disini. jangankan emak, akupun ogah dekat dengan perempuan gatal itu.

Tapi aku heran kenapa janda itu mau tidur dengan bapakku yang miskin itu? Ah, aku tak peduli. Gara-gara pempuan itu, tiap malam aku harus digigit nyamuk-nyamuk, tidur di anben keras tanpa kasur. Aku juga selalu melihat emak meninabobokan kami dengan airmata.
***

Aku pura-pura tidur sebelum emak mematikan lampu. Masih ku dengar isaknya. Aku heran, kenapa emak masih saja menangisi laki-laki itu? Mungkin karena ia perempuan. Cuma bisa menangis. Bisa apa dia kecuali pasrah? Entah terbuat dari apa otak laki-laki yang katanya bapakku itu? Aku benar-benar geram. Laki-laki itu sangat pintar, ia selalu punya pembenaran atas apa yang dilakukannya.
“ Darimana Pak, malam begini baru pulang?” tanya Emak.
“ Ya, nyari duit to buat anakmu. Kalau aku ga ngojek sampai malam begini anakmu itu mau kamu kasih makan apa?” jawab Bapakku.
“ Maaf ya Pak, tadi Emak ke tempat biasanya bapak mangkal ojek. Bapak lagi…lagi…sama Tatik.”
“oooo….njuk ngopo? Kamu tidak suka? Kamu mau apa? Cerai? “ tanya Bapak kasar.
“Bukan gitu Pak?”
“ Jujur wae, aku sudah tidak cinta lagi sama kamu. Apa rumah tangga kita bisa dipertahankan tanpa cinta? Nggak to? Ku pikir aku berhak untuk hidup bahagia dengan orang yang kucintai? Iya to? Bukanya itu juga yang kamu mau?”

Sejak itu pertengkaran mereka selalu ada pemukulan dan kata cerai. Emak cuma bisa nangis. Cuma itu yang bisa dia lakukan. Ia hanya mengadukankan rasa sakit dan penderitaannya paca pakaian kotor, pada piring-piring dan gelas kotor, pada cabai, bawang merah dan ulegan.
“Mungkin Bapakmu benar. Ia behak untuk bahagia, hidup bersama dengan orang yang dia cintai” kata Emak dalam tidurku. Aku tidak tidur. Hanya pura-pura tidur. Tapi ia masih saja manangis. Begitu setiap hari.
***

Di pancuran dekat rumah Emak memukulku. Begitu juga dengan hari ini. Kain lap yang biasa untuk megelap piring tak sengaja sobek. Aku berebut kain lap ini dengan adikku dan sobek. Tapi ini hanya alasan Emak untuk memukulku saja. Kemarin juga karena aku mamanjat pohon, sebelumnya juga karena aku seragamku terkena sambal, karena adekku nagis, karena tertawa ngakak dengan temanku. Hanya karena hal-hal sepele itu, pantat dan pahaku selalu jadi sasaran empuk tangannya untuk memukulku.

Aku tak pernah protes jika Emak memukulku. Tak pernah sekalipun mengeluh. Aku berusaha menahan airmataku. Aku tak mau menangis, tapi airmataku tetap tak tertahan. Airmata selalu mengalir dalam kepasrahanku. Aku tak merasakan pukulan yang Emak layangkan di paha dan pantatku. Aku hanya memeperhatikan wajah ibuku yang marah. Serta matanya yang merah dan meleleh.

Sambil memandikanku, Emak masih memukulku. Aku kasihan pada tangannya. Apa tidak capek? ia buka pakaianku sambil ngomel. Kreatif sekali Emak untuk mengomel, selalu ada saja alasannya untuk marah. Tiba-tiba ia melihat badanku sudad memar-memar. Ia kaget sekali. Ia berhenti memukuliku. Ia bertanya-tanya.
“Le, ini kenapa?”
“Emak, memukulmu hingga seperti ini Le?”

Emak memelukku. Tentu saja sambil menangis. Ia hati hati sekali memandikanku. Ia menyabuni badanku. Membersihkan tangan, muka, dada dan kakiku. Membilas badanku dengan hati-hati. Lalu mengelap badanku dengan handuk. Sangat hati-hati. Ia takut akan semakin membuat badanku yang memar tambah sakit. Aku tak berkata apapun. Aku hanya tersenyum pada Emak.
***

Malam hari tiba-tiba badanku panas, kepalaku terasa berat sekali. Aku menggigil. Emak sudah tertidur di sampingku. Aku memanggilnya, tapi tak juga Emak menjawabku.

“ Mak, kepalaku berat. Mak pusing. Mak..Mak..Mak. Aku tidak kuat lagi Mak.”

Kapalaku semakn barat. Pandanganku sudah buyar. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi tiba-tiba sudah ku lihat Emak di depanku. Ia begitu cantik. Tersenyum begitu ramah. Ia mengulikan tangannya. Aku menyambutnya.

“Adek tidak ikut Mak?” tanyaku. Emak menggeleng sambil tersenyum.

Sulis
24 april 09
Masih memangku harap pada kefanaan dan absuditas. Gila…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar