Minggu, 05 April 2009

HANYA SEBUAH CERITA TANPA MAKNA

Ini memang sebuah cerita tanpa makna. Ya, tak usah kau cari maknanya. Nikmati saja. Seolah kau sedang mendengarkan aku bercerita dalam perjalannku. Cerita yang berawal dari sebuah keinginan seorang wanita untuk berjalan menikmati hujan. ow, tidak juga. Aku berjalan tidak ada tujuan. Bukan untuk menikmati hujan, bukan untuk menikmati perjalan, bukan untuk mencari inspirasi. Ya karena aku sedang tidak memiliki keinginan.

Aku pulang dari kampus sudah malam. Kehujanan pula.aku malah melambatkan sepeda motorku. Biasanya aku langsung tancap gas, melindungi kepala terutama mata. Kali ini tidak. Ku rasakan betul air-air itu menjatuhi diriku. Bajuku basah. Emang kenapa kalau basah? Samapai di kost tinggal di lepas. Lalu dicuci. Apa susahnya? Aku tidak merasa keberatan aku akan sakit, bajuku basah atau apapun. Banyak sepeda motor dengan kecepatan tinggi menerjang hujan. Ya, terserah saja. Aku juga pernah seperti itu. Aku maklum. Aku juga tidak terganggu.mereka punya alasan untuk ngebut. Tapi aku tidak punya alasan untuk pelan. Mungkin mereka akan bilang aku gendeng, atau bahkan cari sensasi. Terserah. Aku hanya menikmati hujan. yang sering kali aku hindari. Itu aja.

Begitu sampai dikos, ku masukkan motor. Ku letakkan tas dan Hpku di kamar. Aku tidak rela barang-barang itu dan sesuatu didalamnya basah. Sudah malam memang, hampir pukul sembilan.

“ Aku pergi sebentar ya.. Jangan dikunci dulu.”

“ Iya mbak”

Dari kemarin badanku hangat. Tapi malam ini kakiku terus melangkah. Aku bingung kanapa bisa aku sepeti ini. Aku seperti hidup absurd. Apa itu absurd? Aku juga tidak tahu. Aku Cuma melangkah. Tak ada keinginan, tak ada tujuan. Aku heran, kok aku tidak merasakan capek sama sekali. Padahal aku sedang sakit.

Terus saja ku langkahkan kakiku dalam hujan kearah kampus, terus kedepan menyusuri jalan yang biasa orang lalui. Aku cuma mengikuti kakiku.

Rintik air masih terus turun, terlihat jelas ketika ku lihat kearas. Kerah lampu. Lebih terang, makanya rintik air yang sangat kecil itu lebih terlihat disana. Cukup lama aku memandanginya sambil terus berjalan. Bagus ternyata. Tak lama, ku tundaukkan kepalaku. Kulihat kakiku yang melangkah pada genangan air yang tak meresap. Mungkin kerena bumi tanah itu tak lagi tanah melainkan peving-paving kotak yang tersusun miring-miring.

Ku lihat juga seorang pria mengendarai sepeda motor menuju Gedung besar di sebelah kiri itu. Tapi tak ku hiraukan. Terus saja aku melangkah. Rasa penasanku terus mendesak. Sebenarnya aku kenapa? Seharusnya aku istirahat. Seharusnya aku capek. Kanapa aku malah terus melangkah, terus menjauh dari tempat dimana aku bisa istirahat. Jangan-jangan aku mati rasa? Memang iya. Aku tidak merasa sedih. Tidak merasa senang, tidak sedang bahagia. Tidak lapar. Tidak haus. Tidak capek. Tidak ngantuk. Tidak… Tidak…Tidak. Aku tak tau mau sampai mana kakiku melangkah.

Ada dua hal yang aku takutkan.yang pertama, jika nanti ada orang jahat, aku diperkosa dijalan. Yang kedua aku benar-benar khawatir aku sudah gila? Aku jadi penasaran, apa yang orang gila rasakan, pikirkan. Aku takut aku juga gila. Aku tidak merasakan apapun. Ah tidak, aku tidak gila. Aku masih punya kecemasan dan puya rasa takut. Berarti aku masih bisa berikir. Berpikir menandakan bahwa manusia tidak gila. Emang orang gila sadar bahwa mereka gila? Ku pikir tidak. Mereka tidak sadar mereka gila. Mereka pasti tidak tau bahwa mereka gila. Mereka bilang, aku tidak gila. Dan aku juga bilang aku tidak gila. Apa bedanya aku dengan mereka?

“Astagfirullah, astagfirullah, astagrirullah.” Aku tersenyum. Aku tidak gila. Tapi kenapa aku masih tidak merasakan sedih ataupun senang. Apakah ini normal? Aku tidak tahu. Sudahlah. Aku seperti sedang bermimpi.

“Tyas. Sudah berbaliklah. Berbaliklah. Pulang. Ayo pulang!!” tapi aku tetap melanjutkan langkahku. Dibeberapa gedung masih ada banyak orang. Di FTI, FTSP, MIPA, da masjid Ulil. Aku sedikit cemas dan bertanya dalam hati.

“apa yang mereka pikirkan tentang aku ya?”

Seorang wanita, malam-malam berjalan sendirian di tengah hujan. aku menerka-nerka apa yang mereka pikirkan tentang aku.

“Mungkin tidak punya motor butuk sesuatu kedepan kampus. Kepepet harus jalan.” atau “Lagi pahat hati.”

Itu yang ku pikirkan. Makanya setiap ada orang, selalu ku siapkan wajah ceria tanpa berlebihan.

Sampai aku jalan setelah KOPMA. Sepi dan Gelap. Aku membayangkan akan ada hantu berbaju putih. Tak sedikitpun aku merasa mrinding.Trus k lanjutkan perjalananku setak demi setap. Pelan-pelan dan santai. Tak capek aku sedikitpun. Aku masih berpikir mau kemana. Ya sudah aku ke kost temanku. Tadi diam diam-diam dia menyelipkan surat di tasku. Aku tak paham isinya. Itu mungkin bisa ku jadikan alasan walaupun masih tak rasional. Tapi biarkan saja. Aku tidak cukup peduli.

Kini kau punya tujuan. Walaupun tujuan itu sangat dibuat-buat.

Tiba-tiba aku melihat uang aepuluh ribi tergelak basar di jalan. ku ambil. Ke serahkan uang itu pada seorang bapak yang menjaga warung tepat di samping aku menemukan uang itu.

“Maaf pak, saya nemu uang sepuluh ribu pak di depan situ.”

“Tapi saya ga kehilangan tu mbak.”

“Oh ya udah. Mungkin bisa dimasukan di kotak amal saja pak.”

“ O iya.”

“Makasih Pak.”

Aku menyebrang. Sampai pada tempat tujuanku. Aku sudah menyiapkan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang bakal ia lontarkan.

Aku sudah sampai. Kamarnya berada di paling ujung depan. Berada di luar rumah induk tapi tak terpisah. Lampunya nyala. Sandalnya tidak ada. Kamar itu tidak dikunci karena rusak. Entah sejarahnya bagaimana bisa rusak. Untuk menguncinya menggunakan gembok. Tapi gembok bagian besi yang seharusnya masuk mengunci, tidak rapat. Masih ada sela jadi gamapang untuk dibuka dan masuk kekamarnya. Aku tidak tahu penghuninya dimana. Entah pergi atau sekadar ke kamar mandi. Tapi aku begitu berharap dia ada di kamarnya. Kalau ada, akan ku temai. Kalau tidak,aku akan kembali ke kosku.

Aku tidak berusaha bertanya atau mencarinya. Kini aku berjalan pulang. Langkahku masih sama. Pelan dan santai. Aku belum capek. aku juga masih belum mengerti alasan apa yang bisa melakukan hal konyol ini. Aku tidak lagi mencari alasan rasional atas kekonyolalku ini. Konyol mana mungkin rasional. Konyol ya konyol saja. Tapi apa iya, manusia akan melakukan sesuatu dengan didasari alasan konyol? Menurutku, bagi orang waras, tidak mungkin. Mungkin iya, sesekali. Bisa saja. Tapi dengan catatan, orang itu pasti sedang irasional. Dan tidak selamanya orang waras, melakukan hal-hal konyol. Sudahlah membahasi inipun kurasa sama konyolnya.

Selama perjalanku, aku menapakan kaki pada paving-paving dan aspal. Tidak ada yang masih tanah. Benar juga. Pantas saja air menggenang dimana-mana. Kalau ada motor melaju, kerap sekali sekali air yang menggenang itu menyiprat. Dan sering kali orang-orang yang ada disekitarnya jadi korban. Air berkah. Berkah dari mana? Air kotor kok berkah. Syukur bukan air comberan.

Aku melewati lagi masjid Ulil. Sekumpulan orang-orang yang tadi berkumpul masih ada. Dan sikapku masi sma. Pasang tamapang sewajar mungkin. Dalam hati aku masih berfikir yang sama: pasti mereka mengira aku aneh.

“ Ini orang kenapa seh, hujan-hujan malah pergi bolak-balik. Malam-malam lagi. Ga takut apa?” mungkin seperti itu. Tapi aku tidak ingin tahu lebih jauh. Tidak ada gunanya.

Sesekali aku membuat variasi berjalanku. Ada paving yang didudun dengan susuna tertentu. Ada yang membujur dan ada yang membentang. Aku juga membuat pola berjalan menyesuaikan paving yang membujur 3 deret. Aku hanya menginjak paving dengan pola itu. Bukan untuk apa-apa. Tanpa tujuan. Hanya iseng. Boleh kan?

SLS- 13 Feb 2009

Jogja-coklatnya belum ku makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar